Kamis, 28 Mei 2009

Desa Bukit Jaya

Desa Bukit Jaya, kecamatan Sungai Lilin, kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel……

“Bukit Jaya”, bermula dari daerah transmigrasi yang bernama “Berlian Makmur” sejak awal tahun 80-an dan berkembang menjadi daerah pemukiman yang lebih maju hingga saat ini. Yang pada akhirnya sekitar tahun 2002-2003, desa “Berlian Makmur” tersebut terpecah menjadi 2 desa. Dan di sini, lahirlah desa “Bukit Jaya”.
Tidak mudah memang membangun bentuk kehidupan dari awal mula hingga menjadi kehidupan yang lebih mapan/sejahtera seperti sekarang.
Dan akhirnya?
Ada juga segelintir orang yang pada akhirnya menyerah kepada nasib, kemudian memutuskan untuk kembali lagi ke tanah Jawa..
Lalu…
Ketika mereka mengetahui bahwa suatu daerah pemukiman yang dahulu pernah ia tinggalkan kini berubah menjadi daerah pemukiman yang lebih sejahtera, mereka hanya bisa menyesal, dan menyesal.
Hal yang biasa…
Seperti kata pepatah Inggris kuno “Getun tiba neng mburi” hehe… yang artinya adalah “kekecewaan itu hadirnya belakangan”.

Tingkat perekonomian masyarakat di Bukit Jaya boleh di bilang sebagai tingkat perekonomian menengah keatas. Dan bisa di bilang merata. Masyarakat bisa tersenyum puas oleh penghasilan perbulannya dengan berprofesi sebagai petani sawit atau karet. Bahkan di desa ini pun telah berulang kali menjadi tempat studi banding dari mana-mana.

Yah.. sebagai petani… Tapi jangan salah sangka bila penghasilan para petani sawit atau karet itu kecil. Karena tiap 2hektar lahan sawit mampu menghasilkan pendapatan sekitar 3-5juta perbulannya. Apalagi hasil dari lahan karet. Karena dengan bertani karet, penghasilannya malah bisa mencapai 2 kali lipat dari bertani sawit. Hanya saja bertani karet itu lebih sulit dari pada bertani sawit. Hingga akhirnya tidak sedikit pula warga yang kemudian melebarkan usaha taninya menjadi berhektar-hektar lahan sawit atau karet. Nah, andaikan saja seorang warga memiliki lahan sawit 2hektar dan juga lahan karet 2hektar, berapa uang yang ia dapatkan perbulannya?
Bayangkan! Berapa mangkuk mie ayam yang dapat ia beli dengan uang sebanyak itu?

Tapi semua itu tergantung juga oleh tingkat kesuburan tanah dan harga penjualan sawit. Jangan lupa bahwa harga sawit atau karet itu tidaklah monoton, tetapi bisa berubah. Dulu, pernah juga saat harga sawit atau karet sedang meninggi dan di tunjang juga oleh tanah yang sedang subur-suburnya, masyarakat menjadi merasa di awang-awang. Karena saat itu masyarakat mendapatkan penghasilan perbulan antara 8-10juta per 2hektarnya! (andai saja saat itu saya punya lahan sawit 1hektar saja…. Sekarang pun saya hanya memiliki 1hektar lahan sawit. Itupun harus menunggu paling cepat 4 tahun untuk siap panen…. Tak apalah, bukankah seorang manusia itu harus wajib bersabar dalam menjalani kehidupan ini?). Dan di saat dunia mengalami krisis global kemarin (untung tidak berkepanjangan), perekonomian di masyarakat sini pun terkena imbasnya. Karena harga sawit dan karet juga ikut mengalami penurunan harga di saat itu (bahkan nenek saya pun pernah mendapatkan uang sebanyak 47ribu per bulannya setelah potongan sana-sini). Beda memang dengan para petani palawija yang sepertinya tidak terkena dampak apa-apa dari krisis global. Tapi alhamdulillah, sekarang kondisi perekonomian di sini sudah mulai mampakkan kenormalannya kembali.
Hebat bukan???